Makassar – Perjalanan menuju selatan sekiranya membutuhkan durasi 6 jam ke depan. Agar tak suntuk maka kubacai pesan yang berseliweran masuk ke WAG ku. Rupa-rupa bacaan yang kusimak, tetapi yang paling ramai adalah paradoks Pilkada di selatan.
Konon, Pilkada Sulsel akan mencetak sejarah baru. Partai-partai hanya akan menyodorkan satu pasangan untuk dipilih oleh rakyat Sulsel. Padahal, seabrek tokoh di Sulsel yang telah memiliki karier politik, mengikuti alur demokrasi yang sehat tetapi tak dilirik. Karier itu mulai dari eksekutif, legislatif dan partai politik.
Yah sangat disayangkan jika partai partai hanya menyodorkan satu paket.
Dalam sejarah Pilkada di Indonesia bukan kali pertama ini partai-partai menyodorkan satu paket ke masyarakat. Pada 2015 terdapat tiga daerah yang memiliki satu calon, lalu sembilan calon pada 2016 dan 2017. Sementara pada Desember 2020, dari 270 daerah yang menggelar Pilkada 34 diantaranya hanya akan memiliki satu pasangan calon.
Bahwasanya kotak kosong adalah pilihan itu benar. Bahwasanya memborong partai dan tak menyisakan satu pun lalu muncul pilihan kotak kosong, itu juga benar. Tak ada yang salah pada sebuah proses demokrasi dalam meraih kekuasaan. Memilih kotak kosong sama sahih nya mencontreng paket pilihan partai.
Tetapi pada sisi komunikasi publik, sekiranya apa yang hendak ditawarkan dan ditulis pada setitik nilah tentang kotak kosong? Bukankah kotak kosong adalah benda mati yang tak memiliki konsep, visi dan tujuan? Kecuali bergabungnya suara kekecewaan, kaum kritis dan pecundang. Toh kemudian suara kotak kosong yang mayoritas, lalu apa manfaat bagi selatan?
Proses demokrasi Pilkada adalah menulis rangkaian visi misi, gagasan dan konsep calon kepala daerah dari para calon. Kita akan memilih CEO-nya Sulsel. Jika dua calon maka tentu akan ada empat isi kepala yang menawarkan konsep untuk dibeli oleh rakyat. Banyak gagasan, pemikiran dan konsep. Kemudian apa yang harus kita tulis? Baik oleh konten kreator, jurnalis, selebgram, influencer jika hanya satu pasangan? Hanya akan ada satu suguhan yakni MONOLOG atau ANALOG. Hanya satu frekwensi, tak ada frekwensi lain. Ciri khas menuju keotoriteran.
Banyak rangkaian sebelum masuk bilik suara seperti bagaimana calon kepala daerah menawarkan mimpi mimpinya tentang satu daerah, menuangkan pikiran melalui visi dan misi, merangkai kreativitasnya melalui konsep. Akan tetapi rangkain rangkaian itu bakal hilang bak ditelan bumi jika seluruh partai menyodorkan satu pake saja. Para penulis sebagai penyeranta kepada publik hanya menuliskan satu rangkaian saja, sebab tak ada cerita rangkaian dari pasangan lain.
Hendak menulis rangkaian kotak kosong? Ah, itu sama halnya menulis pepesan kosong. Penulis tentunya merasa hambar, merasa tak obyektif sebab APA YANG MAU DITULIS?
Seorang pakar komunikasi politik Gabriel Almond bilang, komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Akan tetapi komunikasi politik itu harus stereo, digital bukan analog apalagi monolog. Apa jadinya komunikasi politik pada Pilkada itu jika monolog? Tak ada adu gagasan, adu konsep dan adu kretavitas. Pemilihan langsung atau Pilkada bukanlah memilih siapa yang akan berkuasa tetapi rakyat memilih siapa yang akan memimpinnya. Pada proses menjadi seorang pemimpin ada pada proses ujian tesis tentang konsep, visi-misi dan gagasan. Akan banyak gagasan yang muncul yang kemudian diramu oleh calon pemimpin tersebut. Nah, jika melawan kotak kosong? Apa yang hendak kau tulis?
Anno Suparno seorang Jurnalis Senior Indonesia yang memberikan pikiran dan gagasan demokrasi tanah air.