Filosopi Dunia Pendidikan Bukan Cetak Produk Tapi Membimbing Manusia

banner 300300

Makassar – Banyak sistem pendidikan modern dibangun di atas model lama—mencetak individu yang patuh, teratur, dan siap memasuki dunia kerja industri. Fokusnya adalah pada keterampilan teknis, bukan pada kemampuan berpikir mandiri.

Anak-anak diajari untuk mengikuti aturan, mengerjakan soal dengan jawaban tunggal dan menghindari kesalahan—bukan untuk mempertanyakan, mengeksplorasi, atau menciptakan hal baru.

banner 500350

Akibatnya, kita menciptakan lulusan yang terampil secara teknis, tapi sering kali bingung ketika dihadapkan pada masalah kompleks yang membutuhkan kreativitas, empati, dan pemikiran kritis.

Mereka terbiasa diarahkan, bukan mengambil arah. Padahal, di dunia yang cepat berubah, pemikir lebih dibutuhkan daripada pengikut. Pendidikan semestinya mencetak manusia yang utuh—yang tahu bagaimana belajar, bukan hanya apa yang harus dihafal.

Filosofinya menyentuh akar dari krisis pendidikan: bahwa sekolah seharusnya menjadi taman pemikiran, bukan jalur produksi.

Dunia tidak butuh lebih banyak robot manusia, tapi lebih banyak manusia yang bisa melihat secara luas, berpikir secara dalam, dan bertindak secara bijak.

Maka jika kita ingin menciptakan masa depan yang lebih baik, sistem pendidikan perlu diubah dari mesin pencetak pekerja menjadi ruang pengasuhan pemikir bebas.

Dalam banyak budaya pendidikan, nilai akademis sering dianggap sebagai tolak ukur utama kecerdasan.

Anak yang pintar adalah yang mendapat nilai tinggi, juara kelas dan atau lolos ujian dengan sempurna.

Padahal, kecerdasan manusia jauh lebih luas: ada kecerdasan emosional, kreativitas, kemampuan berkomunikasi, berpikir kritis, bahkan empati—semuanya penting, tapi sering tak tercatat dalam rapor.

Akibat dari pemujaan terhadap nilai akademis adalah generasi yang cemas gagal, takut salah, dan mengukur harga dirinya dari angka.

Mereka bisa kehilangan kepercayaan diri hanya karena tidak cocok dengan sistem ujian yang kaku.

Sementara itu, banyak anak yang sesungguhnya cerdas dalam cara berbeda justru tersisih—bukan karena bodoh, tapi karena tak sesuai dengan definisi sempit kecerdasan versi sekolah.

Filosofinya menyoroti bahwa pendidikan semestinya merayakan keberagaman potensi, bukan menyeragamkan cara berpikir.

Kita tidak sedang mencetak produk, tapi membimbing manusia. Maka, tugas kita bukan mengagungkan nilai, tetapi menumbuhkan nilai—yakni nilai hidup, nilai rasa ingin tahu, dan nilai kemanusiaan dalam setiap diri anak.

Penulis
Dr Andi Risma Jaya M.AP merupakan sivitas akademika Universitas Indonesia Timur (UIT) dan Ketua LPM UIT.

banner 500350

Tinggalkan Balasan