Pakar Politik Khawatir Kejaksaan Kebablasan Jika Kewenangan Penyidikan Masih di Tangan Instansi Jaksa

banner 300300

Makassar – Sebuah Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Quo Vadis Revisi Undang-Undang No. 11 Tahun 2021” digelar di Cafe Muda-Mudi dengan menghadirkan berbagai pakar politik, seperti, Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, Dr. Adi Suryadi Culla, dan Dr. Hasrullah .

Diskusi ini membahas dampak revisi UU Kejaksaan terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia.

Revisi UU No. 11 Tahun 2021 yang merupakan perubahan dari UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertujuan untuk memperkuat peran Kejaksaan dalam sistem penegakan hukum.

Beberapa poin utama revisi ini meliputi penguatan kedudukan dan fungsi Kejaksaan, penambahan kewenangan dalam penyelidikan, perluasan tugas dan wewenang, serta perlindungan dan profesionalisme jaksa.

Salah satu poin kontroversial dalam revisi ini adalah kewenangan Kejaksaan dalam proses penyelidikan, yang sebelumnya menjadi ranah utama Aparat Kepolisian.

Dalam diskusi tersebut, Prof. Dr. Aminuddin Ilmar mengkritik revisi ini karena berpotensi menciptakan ketimpangan dalam sistem hukum. Menurutnya, revisi ini justru mengaburkan fungsi utama Kejaksaan sebagai penuntut umum dan dapat mengganggu prinsip check and balance dalam sistem peradilan.

“Nah itu akan sangat berbahaya. Nah kenapa berbahaya karena tidak ada istilahnya check and balance perimbangan yang kita katakan tadi. Kalau sebagai fungsi penuntut, maka tetap melekat fungsi kontrol, tidak perlu ikut terlibat langsung dalam proses itu. Tapi menurut saya, ini memang yang bikin kebablasan,” imbuh Prof. Aminuddin (10/02)

Ia juga menyoroti potensi penyalahgunaan kewenangan oleh oknum di Kejaksaan jika revisi ini diterapkan. Dengan adanya kewenangan baru dalam penyelidikan, Kejaksaan dapat ikut serta dalam pemeriksaan perkara yang sebelumnya hanya ditangani Kepolisian.

“Jadi kalau ada unsur bermain dalam tanda petik, sebenarnya jaksa bisa bermain. Jaksa boleh ikut terlibat dalam dugaan pemeriksaan perkara yang melibatkan pihak korban. Jika ini diterapkan, maka apa fungsi aparat penyidikan kepolisian?,” tambah Prof.Aminuddin.

Sementara itu, Dr. Hasrullah menyoroti peran pemerintah dalam mengatur keseimbangan antara tiga pilar utama penegakan hukum di Indonesia, yaitu Kejaksaan, Kepolisian, dan Kehakiman. Ia menegaskan bahwa masing-masing institusi harus bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya tanpa adanya intervensi politik yang berlebihan.

“Presiden mengambil alih memberi penjelasan kepada 3 penegak hukum di indonesia , komunikasi bukanlah hal yang sulit , tapi bila sudah diintervensi kekuasaan , intervensi kepentingan , komunikasi tidak seperti yang kita bayangkan,” tutur Dr.Hasrullah.

Di sisi lain, Dr. Adi Suryadi Culla menekankan bahwa komunikasi antara lembaga hukum bukanlah permasalahan utama dalam revisi ini.

Namun, ia mengkhawatirkan adanya potensi intervensi kepentingan yang dapat merusak integritas penegakan hukum.

Ia menambahkan bahwa perluasan domain kewenangan Kejaksaan yang diatur dalam revisi ini berpotensi menimbulkan konflik internal dalam sistem hukum.

“Revisi ini kan dengan kewenangan yang sangat besar, maka siapa yang bisa menjamin bahwa Kejaksaan itu benar-benar profesional? Malah bisa menimbulkan kepentingan politik yang bisa terjadi,” beber Dr.Suryadi.

banner 500350
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments