Kajati Sulsel Agus Salim Bicara Keadilan Restorasi saat Bimtek Tipidum, Apa itu Restorative Justice?

banner 300300

BACAONLINE.ID, MAKASSAR – Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Selatan (Sulsel) menghadiri Bimtek Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika dengan pendekatan keadilan restoratif

Kegiatan ini mengangkat tema “Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Republik Indonesia sebagai Garda Depan dalam Penegakan Tindak Pidana Narkotika yang Berintegritas dan Profesional Guna Membawa Indonesia Bebas dari Narkoba” dan digelar di Grand Shayla Jalan Chairil Anwar, Kota Makassar, Kamis (30/5).

Bimtek tersebut dihadiri Direktur Kamnegtibum pada Jaksa Agung Muda Tipidum Kejagung, Agus Sahat Sampe Tua Lumban Gaol, Koordinator Jampidum Kejagung, Didie Tri Hayadi, Kepala Badan Narkotika Provinsi Sulsel, Dr Iman Firmansyah dan Kasubditdir Kamnegtibum dan TPUL Kejagung RI.

Peserta bimbingan teknis di ikuti oleh Aspidum dan Kepala Seksi Narkotika dan Zat Adiktif Kejati Sulsel, Kejati Sulut, Kejati Sulteng, Kejati Sultra, Kejati Sulbar dan Kejati Gorontalo, Kajari dan Kasi Tipidum dari berbagai Kejari di wilayah Sulawesi.

“Hukum yang baik, idealnya memberikan sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat dari pada sekedar hanya sebatas prosedur hukum semata, disamping harus kompeten dan adil, hukum juga harus mampu mengenali keinginan publik yang tergambar dalam hukum yang hidup di masyarakat serta berorientasi terhadap tercapainya nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum,” ujar Agus Salim dalam keterangan resminya.

Untuk itu diperlukan adanya hukum yang responsif sebagai sebuah jawaban atas keinginan masyarakat terhadap pemberlakuan hukum yang berlandaskan hukum yang hidup di masyarakat (living law).

Agus Salim menambahkan, bahwa sejak awal perkembangan pelaksanaan sistem peradilan pidana, khususnya pada konsep pemidanaan, baik di Indonesia maupun secara global, pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana masih bersifat retributif yang menitikberatkan pada penghukuman pelaku tindak pidana dan orientasi penghukumannya bertujuan untuk melakukan pembalasan dan pemenuhan tuntutan kemarahan publik akibat perbuatan pelaku.

Namun seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran paradigma alternatif yang ditawarkan untuk menggantikan keadilan berbasis pembalasan, yaitu adanya gagasan yang menitikberatkan pada pentingnya solusi untuk memperbaiki keadaan, merekonsiliasi para pihak dan mengembalikan harmoni pada masyarakat, tetapi tetap menuntut pertanggungjawaban pelaku, yang saat ini kita kenal dengan istilah Restoratif Justice atau keadilan restoratif.

kondisi ini dimaksudkan untuk menjawab berbagai problematika dan tantangan zaman serta kritik terhadap proses penegakan hukum pidana.

Dalam rangka mewujudkan pelaksanaan keadilan restoratif dalam penegakan hukum pidana, Jaksa Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan beberapa kebijakan, antara lain yaitu:

​Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif Pedoman Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak Dalam Penanganan Perkara Pidana Narkotika; Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

Pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara tindak pidana narkotika sebagaimana yang dirumuskan dalam Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika adalah merupakan salah satu solusi yang sangat dibutuhkan untuk membantu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk menekan yang overcrowded (penuh) pemasyarakatan.

Terbitnya Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika, merupakan reorientasi kebijakan penegakan hukum dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang penuntutan yang dilakukan dengan mengoptimalkan Lembaga Rehabilitasi.

Hal ini tentu akan mengubah pola kerja dari Penuntut Umum terhadap penanganan perkara penyalahgunaan narkotika.

Selama ini penjeraan bagi orang yang melakukan penyalahgunaan narkotika dalam pasal 127 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berorientasi pada hukuman badan berupa pemenjaraan satu sampai empat tahun.

Kendati begitu, dengan adanya Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tersebut, diharapkan tidak perlu dilakukan pemenjaraan terhadap pelaku, namun diberikan rehabilitasi yang dilakukan dengan mengedepankan keadilan restoratif dan kemanfaatan (doelmatigheid).

Selain itu juga dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, asas pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), cost and benefit analysis, dan pemulihan pelaku, maka Jaksa selaku pengendali perkara berdasarkan asas dominus litis, dapat menyelesaikan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi.

Pada akhir sambutannya Kajati Sulsel Agus Salim berharap bahwa semoga kegiatan bimbingan teknis ini berjalan dengan lancar dan bermanfaat bagi peningkatan kemampuan teknis para Jaksa dalam penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana narkotika melalui pendekatan keadilan restoratif yang pada gilirannya akan memberikan manfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara Republik Indonesia demi kemajuan institusi kejaksaan yang kita cintai bersama.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments