1. Sulsel dalam Ancaman Demokrasi? Mungkinkah Calon Tunggal vs Koko?
Sulawesi Selatan, sebuah provinsi dengan dinamika politik yang kerap kali menjadi sorotan nasional, kini berada di persimpangan jalan dalam proses demokrasi. Ancaman dari kekuasaan yang terpusat pada segelintir elit menjadi nyata, mengancam kesehatan demokrasi yang seharusnya mengedepankan kompetisi dan partisipasi publik.
Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa pada Pilkada 2018, meskipun partisipasi pemilih secara nasional meningkat lebih dari 70 persen, beberapa daerah, termasuk Sulawesi Selatan, terpengaruh oleh minimnya pilihan kandidat. Ketika hanya ada calon tunggal, kekecewaan menyelimuti pemilih yang merasa pilihannya terbatas, berujung pada apatisme atau protes melalui kotak kosong.
Fenomena kotak kosong yang memenangkan Pilkada Makassar 2018 dengan sekitar 53 persen suara menjadi bukti nyata bahwa masyarakat resisten terhadap kandidat yang dianggap tidak mencerminkan aspirasi mereka. Kejadian ini menunjukkan ketidakpuasan pemilih terhadap pilihan politik yang tersedia dan memperingatkan akan bahaya demokrasi yang tersandera oleh elitisme.
2. Apa Perlu Ada Calon Tandingan agar Head to Head di Pilgub Sulsel agar Memberikan Ruang Demokrasi kepada Masyarakat?
Dalam teori demokrasi liberal, kompetisi dalam pemilihan merupakan elemen vital untuk menjamin akuntabilitas dan responsivitas pemerintahan. Kehadiran calon tandingan dalam Pilgub Sulsel sangatlah penting untuk menciptakan dinamika politik yang sehat, memicu debat publik, dan menawarkan kebijakan yang lebih baik. Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi contoh di mana persaingan ketat antar calon gubernur menghasilkan partisipasi pemilih tinggi, mencapai sekitar 77%. Ini membuktikan bahwa adanya calon tandingan memotivasi masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses politik.
Dengan adanya calon tandingan, pemilih di Sulsel berkesempatan untuk menilai dan membandingkan visi, misi, serta program kerja dari para kandidat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pemerintahan yang terpilih.
3. Bagaimana Melihat Peluang ASS-Fatma Vs Danny-Azhar?
Peluang pasangan calon seperti ASS-Fatma dan Danny-Azhar dapat dievaluasi melalui lensa teori pemasaran politik, yang menekankan pentingnya citra, reputasi, dan strategi komunikasi. Popularitas dan elektabilitas mereka bergantung pada kemampuan berkomunikasi dengan pemilih dan bagaimana mereka memposisikan diri dalam isu-isu penting. Berdasarkan survei dari beberapa lembaga riset politik, pengenalan publik terhadap visi dan misi menjadi faktor utama yang mempengaruhi popularitas kandidat. Pasangan calon harus cerdas memanfaatkan media sosial dan saluran komunikasi lainnya untuk menjangkau berbagai segmen masyarakat, khususnya generasi muda yang menjadi bagian signifikan dari demografi pemilih di Sulsel.
4. Kondisi Saat Ini Jika Terjadi Koko vs Tunggal, Apakah Tanda-tanda Jika Sulsel Sedang Menuju Kematian Demokrasi?
Kondisi di mana kotak kosong berhadapan dengan calon tunggal dapat ditelaah melalui teori legitimasi politik. Legitimasi pemerintahan terpilih menurun ketika pemilih merasa tidak ada alternatif pilihan yang representatif. Kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Makassar 2018 mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap proses politik yang tidak menawarkan pilihan sesuai kehendak rakyat. Ini mengindikasikan bahwa demokrasi di daerah tersebut perlu reformasi agar lebih inklusif dan representatif.
Jika skenario koko vs tunggal kembali terjadi di Sulsel, ini bisa menjadi tanda bahwa demokrasi mengalami defisit, di mana masyarakat merasa suara mereka tidak dihargai atau diwakili dengan baik.
5. Bagaimana Melihat Partai Dibajak dan Tidak Mengusung Kader Sendiri?
Ketika partai politik memilih mendukung kandidat dari luar partai daripada kader sendiri, ini bisa dilihat sebagai tanda pengaruh oligarki. Partai yang dibajak oleh kepentingan tertentu cenderung lebih mementingkan keuntungan jangka pendek daripada kepentingan jangka panjang yang lebih inklusif. Fenomena ini sering terjadi di politik Indonesia, di mana partai memilih tokoh populer atau kandidat dengan dukungan finansial kuat yang bukan kader partai. Ini mencerminkan adanya dominasi oligarki dalam proses pencalonan yang berpotensi merusak integritas dan independensi partai.
Untuk mengatasi masalah ini, partai politik perlu memperkuat struktur internal dan proses kaderisasi serta menegakkan prinsip demokrasi internal agar lebih responsif terhadap aspirasi anggotanya dan masyarakat luas.
Secara keseluruhan, situasi politik di Sulsel membutuhkan perbaikan sistemik untuk memastikan demokrasi berjalan sehat dan inklusif. Reformasi diperlukan untuk meningkatkan transparansi, memperkuat partai politik, dan membuka lebih banyak ruang partisipasi bagi masyarakat. Dengan demikian, demokrasi di Sulsel dapat terhindar dari ancaman oligarki dan menuju ke arah pemerintahan yang lebih representatif dan akuntabel..
Penulis Dr. Ibnu Hadjar Yusuf M.I.Kom adalah Dosen Komunikasi UIN Alauddin Makassar yang sering memberikan pandangan terkait dinamika politik Sulawesi Selatan.